Pagi dini hari saya mengajak kemenakan-kemenakan yang datang dari jauh jalan-jalan pagi di sekitar rumah, hari ini saudara-saudara saya datang mengunjungi ibu saya, sepertinya hal ini dilakukan sebulan sekali, lain dengan saya ketika kuliyah dulu, biasanya, hanya setahun sekali saya pulang ke rumah, saya betah dan cinta dengan kota tempat saya belajar dulu, tenang dan memiliki telorensi tinggi terhadap bermacam perbedaan prinsip serta pemikiran (terutama kalo kepingin tidur sampe siang hehe) , persis seperti nilai-nilai yang tertanam lama yang dibiasakan dalam keluarga besar kami -dengan catatan beberapa hal sangat mendasar dari nilai-nlai agama yang sangat tidak boleh kami tinggalkan-. Perjalanan dengan kemenakan serasa bagai ayah yang menemani anaknya bermain (allow dedy... serasa.. eh eh), rasanya saya ingin cepat-cepat menjadi ayah, tapi saya masih begitu takut untuk membuka lembaran itu, teman-teman saya bilang, saya laki-laki pengecut, ah taek ah, jawab saya, mereka yang sudah kawin tentu memiliki pertimbangan sendiri dengan keputusannya, teman saya yang fotografer bilang "nikah itu karena kita ingin memiliki teman hidup, masalah rizki itu Tuhan yang atur dech..", teman saya yang wartawan bilang "nikah lah kau.. kalau kau memang merasa memiliki cinta yang bertanggungjawab sana kekasih kau lah -logat batax-", tapi salah satu saudara saya ada yang bilang, "jangan nikah kalau kerjamu tidak mapan", saudara yang lain bilang "orang yang paling rugi, adalah orang yang setiap bangun pagi tidak pernah melihat pasangannya tidur pulas sambil tersenyum", (macak ciihh lebay ach.. paling juga bau air liur), ah entahlah, saya belum ada persiapan material dan spiritual, seperti pagi ini juga, saya masih asik dengan Doraemon, Spongebob, walau saya juga sangat mencintai film-film indie yang banyak tumbuh di Indonesia.
Jujur saya seperti terjebak dalam putaran waktu yang jarum jamnya bergerak sangat pelan, teman saya sudah berlari terlalu jauh rasanya, satu teman mulai tahun ini sudah bekerja jadi pegawai negeri di salah satu departemen pusat, satu teman lagi menjadi kontraktor, yang lain menjadi dosen, dan lainnya meneruskan jenjang S3 nya, saya melihat diri saya tertinggal jauh-jauh sekali, padahal waktu SMA nilai akademisnya hampir mirip dengan saya, yang saya kejar sekarang justru mendapatkan kerjaan yang lebih mapan, saya memilih jurusan yang menurut saya salah, setiap kali teman saya datang dengan kesuksesan dia malah balik bertanya, "la dulu sapa yang milih bree..", "aku lah..", "lah kok bilang salah..., itu salah dari kamu kali bree, kalo liat dari situ mah, banyak orang lulusan SMA sampe SD yang lebih sukses dari yang kuliyah, boz gw dulu lulusan SD juga bre..", ok, saya terkadang paham, kerjaan yang bagus itu ada sedikit banyak faktor keberuntungan, saya juga menerima kerjaan saya sekarang, tapi kerjaan saya mampet tanpa jenjang, saya rindu kompetisi, apa mungkin saya tidak juga bersyukur -dengan melihat orang-orang yang jauh di bawah saya-, tapi saya memang tertinggal jauh, "kalau ingin kerja di dunia, bekerjalah seolah kita hidup selamanya", itu adalah pesan nabi yang aromanya sangat kapitalistik, orang muda seperti saya harusnya sangat suka itu, dan orang tua biasanya menyukain pesan nabi yang lain, "kalau kau beribadah, maka rasakan seolah-olah esok pagi engkau mati", tentang kesukaan yang muda dan yang tua jangan pernah terbalik, tapi lebih sempurna bila kedua pesan itu layak diamalkan berbarengan, dan sangat rugi bila kedua pesan ini tidak diindahkan.
Rasa tertinggal bisa menciptakan kecendrungan positiv dan negativ, satu sisi orang ingin segera bangkit (wake up n aware) untuk maju dengan lebih semangat, di lain pihak orang-orang bodoh cenderung menerima, capek, lelah dan pasrah, tepatnya rasa takut untuk melakukan persaingan, akhirnya menerima keadaan, banyak orang yang ayem tanpa persaingan, tapi selagi masih muda, yang bijak adalah yang mengerahkan daya sekuat-kuatnya untuk meraih kesuksesan duniawi. Bergabunglah dengan komunitas yang mendukung langkah-langkah menuju masa kejayaan hari tua, jangan pernah mencoba senang dengan kebodohan menjalani nasib sebagai orang yang nriman, salah bila orang jawa mengajarkan itu semua, suku jawa mau tidak mau tetaplah suku yang paling ekspansiv di Indonesia, atau mungkin urutan sepuluh besar di dunia, raja-raja kita adalah raja-raja yang paling bersemangat, bahkan kelewat semangat hingga dari zaman-zaman mataram lama kudeta sangat sering terjadi, di jawa memang banyak kelas, tapi kelas menengah atas dari awalnya dulu adalah kelas paling bergairah, dalam ekonomi serta politik, dalam satu pulau yang kecil saja (jawa) dahulu sempat ada lebih dari sepuluh kerajaan yang merdeka, walau kelas rakyat kebanyakan adalah pekerja yang baik tapi tidak bisa diartikan mereka pasrah, prinsipnya adalah pengabdian, titah raja titah Tuhan, dan hingga sekarangpun siapa yang jadi presiden berarti ada suatu persepsi untuk diagungkan seolah sedikit tanpa atau nyaris tanpa cela, politik mataram sama saja dengan politik saat ini, persetan dengan vector fungsi dan kerja, orang kebanyakan masih memandang image, karisma dan kewibawaan adalah nomer satu, itulah sebagian besar orang Indonesia yang hanya 5 % nya kuliyah, selebihnya hanya tamatan sekolah menengah dan dasar.
Ketidak senangan terhadap kesekarangan (lebih tepatnya tidak menerima kemapanan yang 'sekarang' dan ingin 'teterbaruan' adalah ciri-ciri anak muda), itu mengapa nyaris semua pemimpin kita yang dijatuhkan adalah karena pemuda tidak menyenangi, ini berbeda dengan kaum militer, yang selalu senang terhadap kesekarangan, militer menghendaki kenyamanan, suatu stabilitas dan progres ke depan, kaum pekerja dan kelompok mapan menginginkan demikian, semua yang mapan itu baik bagi mereka yang sudah mapan, dan hampir dipastikan, semua tentang yang mapan adalah kabar buruk bagi mereka yang oleh keadaan dan situasi kurang beruntung menjadikan mereka kurang mapan danakhirnya menyesuaikan diri dengan ketidak mapanan, ketidak mapanan tidak hanya sebatas ekonomi dan kerja, lebih dari itu, pemikiran, keyakinan, cinta dan tingkah laku yang tidak mapan akan sedikit banyak tidak menyukai ide-ide tindakan kemapanan. Kenyataannya nilai-nilai ketidak mapanan bagaimanapun penting untuk mengoreksi apa yang telah sedang dan akan terjadi di negeri dan dunia ini, kalau kelas ketidak mapaan terutama secara ekonomi dan politik mendominasi, seperti tahun 1945, 1965, 1998 di Indonesia, maka kekuatan macam apapun termasuk penguasa dan militer tidak akan pernah bertahan, kelas ketidak mapanan akan tergambar tidak simpatik bila berada di wilayah minor, dalam informasi yang sangat terbuka namun pergerakan pemikiran dibatasi oleh keyakinan yang berakar kuat -seperti di Indonesia-, minoritas dalam perilaku dan nilai serta pemikiran akan sering dianggap sebagai ancaman stabilitas, beberapa minor akan salah jalan menjadi pembuat onar -terorisme-, selebihnya akan berjalan dalam kegelapan yang bagaimanapun akan menjadi sisi tabu dan 'gelap' negeri ini -terutama di wilayah perkotaan-.
Pernikahan yang bahagia, pekerjaan yang layak -dengan gaji yang 'layak'-, status sosial yang 'terhormat', nilai-nilai yang 'suci' dan 'sakral', gaya hidup 'mapan', dan nilai sosial yang 'terhormat' adalah suatu kekayaan yang nyaris tanpa cela, tapi nyaris itu berarti tidak mutlak, dan ketidak mutlakan itu lahir dari pandangan mereka yang memiliki sudut pandang lain terhadap kesempurnaan, yang awas kerena perjalanan hidupnya memiliki pandangan yang lain dari yang lain, orang semacam itu akan selalu ada, dan akan tumbuh subur ketika suatu kenyamanan melahirkan pertanyaan kembali tentang epistimologis, seperti pernyataan akan kebahagiaan, cinta dan perasaan nyaman sama sekali bukanlah sesuatu yang absolut serta sangat relativ, ada yang mengabdi mati-matian pada ideologi dan pemikiran yang dipandangnya benar, pada pekerjaan dan status yang dipandangnya menguntungkan, pada para nabi dan ajarannya yang dipandangnya suci, pada tubuh dan keluarga yang dipandangnya indah, pada kekayaan dan kejayaan yang dipandangnya memuaskan, pada kekuatan -militer- dan kekuasaan yang bisa dipandangnya menciptakan keamanan, dan lain-lain, tapi pandangan semua itu adalah relativ, tidak ada di dunia ini dua orang saja yang mampu menggambarkan dengan persis tentang perasaan bahagia, bahkan setiap pandangan yang tadi telah disebutkan bisa jadi menciptakan kontradiksi, perbedaan itulah yang harusnya menciptakan dialog tak henti, seperti pesan yang disampaikan para nabi dan orang suci.
Tapi sarana dialog biasanya merupakan pengejawantahan dari kekuasaan dan kemapanan, penguasa yang pintar tapi 'bodoh' akan membendung dan meminimalisir dialog untuk kelompok-kelompok kecil serta cenderung pada suara-suara mayoritas, itu mengapa di negara di mana penguasanya sangat mempertimbangkan konstituen, serta image khalayak, pembelaan atas 'kebenaran' minor adalah sesuatu yang memalukan dan tabu, ketidak berdayaan itu bukan hanya berasal dari sang penguasa, tapi karena mayoritas yang juga menghendaki demikian, hal ini memaksa minoritas seolah menghilang -tepatnya diam-, karena alasan terancam, takut dan mendapatkan tekanan serta menjadi Kelompok Rahasia. Kelompok Rahasia ini akan dibangkitkan oleh mayoritas yang suatu saat karena meragukan kebenaran yang selama ini mereka yakini, entah karena situasi kritis atau pendewasaan melalui pendidikan, menempatkan sebagian kecil atau besar pemikirin yang dijalankan secara rahasia oleh kaum minoritas, atau karena kekecewaan dan harapan yang yang kosong akhirnya membuka dialog dan partisipasi bersama dengan kelompok pemikir minor.
Mereka yang lahir sebagai kelompok yang lain, ide-ede (ologi) yang lain, keyakinan akan kebenaran yang lain, gaya hidup yang lain, cita-cita lain, perasaan yang lain, cinta yang lain, adalah suatu garisan nasib dan takdir yang tidak terelakkan, suatu persimpangan horison, dari horison besar, yang besar karena ada yang kecil. Dunia ini bukanlah produk mecin cetak, bukan robot agunglah yang telah menciptakan kehadiran kita di dunia, tapi Tuhan, kebenaran bisa jadi ada di manapun, kebenaran akan tetap menjadi kebenaran walaupun keluar dari gonggongan anjing, beberapa atau banyak orang 'disesatkan' oleh satu kotak pandora (kotak ajaib) yang sangat besar, di mana meyakini bahwa semua kebenaran hanya berada di kotak itu, pun bila nyatanya Tuhan telah menciptakan kotak lain tapi lebih kecil, orang-orang itu 'disesatkan' oleh pemikirannya yang buta, sehingga semua isi dari kotak kecil itu adalah kebohongan dan kesalahan, walaupun mereka tidak pernah mencoba merabanya isinya sekalipun.
Itu mengapa kesesatan dan cinta laksana dua bagian yang seolah dipisahkan oleh garis setipis rambut kepala, bila cinta adalah dorongan yang luhur pada 'sesuatu' yang membuat manusia menjadi 'melihat' sehingga bergairah dan hidup menyambut dunia ini - dunia yang sudah pasti saling berhubung serta melengkapi-, kesesatan merupakan dorongan yang luhur pada 'sesuatu' yang membuat manusia menjadi 'buta' sehingga kehilangan gairah dan daya hidup untuk menyambut dunia ini, bagi mereka segala selain 'sesuatu' adalah yang 'lain yang tidak pernah berguna, sesuatu yang harus dibenci'. Para nabi mengajarkan cintailah dunia sebagaimana mencintai akhirat, berdoa yang terbaik adalah bahagia dunia dan akhirat, perbuatan yang terbaik adalah berbuat untuk menciptakan perdamaian, perdamaian itu dimulai dari berdamai dengan diri, keluarga, masyarakat, negara lalu dunia. Bila orang rang suci mengatakan "kebencian adalah cinta yang terpantulkan", maka semua hakikat kehidupan adalah cinta dan persaudaraan. Mencintai kebenaran dan keyakinan merupakan jalan untuk menemukan cinta.
Saya tidak ingin menyamakan dan membenarkan semua agama, karena kenyataannya semua agama memiliki nilai-nilai yang berbeda bahkan kontradiktif, saya juga tidak akan mengiyakan atheisme dan agnostik (bertuhan tanpa beragama), tapi semua agama dan keyakinan dibangun oleh para nabi dan orang-orang suci untuk menggerakkan cinta sejati yang kita miliki dengan jalannya masing-masing, bagi saya agama yang paling benar tetaplah yang selama ini saya yakini, tapi dengn mengatakan 'yang paling benar' tidak berarti saya akan mengabaikan kebenaran yang sudah pasti selalu ada dalam agama atau keyakinan yang lain, agama yang kita cintai mendidik kita untuk saling mengenalkan, menghormati dan berlaku bijaksana terhadap yang lain. lalu beberapa orang bertanya? bagaimana perang yang dulu pernah timbul dan dilakukan oleh nabi-nabi dan orang suci kita, serta azab pedih dari Tuhan yang dinistakan pada pendahulu-pendahulu kita? Dimanakah cinta dan perdamaian itu bersemayam pada Tuhan dan para nabi serta orang-orang suci? perkenankan saya menjawab, Tuhan bisa membuat segalanya berlangsung aman, damai dan lestari karena Dia Maha Kuasa, tapi dunia memiliki nilai-nilai sendiri yang akan selalu berubah, entah itu perubahan yang terulang atau perubahan yang benar-benar baru dan ini yang telah dikehendakinya, itu mengapa Tuhan dan ajaran para Nabi bukanlah sebuah mesin industri, yang akan mencetak hal yang sama dari pesan yang mereka turunkan, kebenaran memiliki tempatnya sendiri-sendiri sesuai dengan waktu dan kondisi, Tuhan sengaja tidak menciptakan kotak pandora di mana semuanya ada dalam satu kotak dan waktu, tapi dasar-dasarnya tetaplah sama, tidak ada agama apapun yang mengajarkan pembunuhan tanpa alasan, tidak ada agama yang mengajarkan kebencian tanpa pengampunan, dan tidak ada agama yang menyatakan untuk membenci dan memusihi keyakinan yang lain, semua ajaran agama ingin setiap manusia saling mengenal dan bekerjasama, walau kenyataan terjadi peperangan kebanyakan bukan atas dasar agama, lebih sering merupakan kekuasaan dan perebutan nilai-nilai, itulah ketidak sempurnaan, dunia dan manusia memang sejak awalnya tidak diciptakan untuk kesempurnaan, adam di turunkan ke dunia untuk suatu ketidak sempurnaan, dan untuk cinta nya pada hawa yang tidak pula sempurnah, evolusi biologi mengajarkan perubahan menuju sempurna, tapi fisika mengajarkan perubahan termodinamika demana kesempurnaan akan lenyam suatu saat nanti.
Intinya adalah (pengendailan diri...hahah kebawa seriuzz teruss dari tadi?? pasti lagi dapet yaa mazz), cobalah pahami sudut pandang orang lain walaupun itu terkadang bertentangan dengan nilai dan keyakinan kita, itu bagian dari mengenal, suatu kata yang diajarkan para Nabi untuk memulai sesuatu kata yang indah yang sering kali kita sebutkan dalam doa-doa kita, kata dan rasa itu adalah "CINTA".