Aku tak bisa tidur, memikirkan seseorang yang mungkin sudah jarang memikirkanku -menurutku-,
"Aku dah di Jogja, kamu kapan ke jogja"
"Blon ada uang, apa kunci rumah ku kamu bawa saja, tapi aku pulang lagi ke Solo, coz uang ku belum cair"
"Tidak ah, kamu ke Solo saja dulu, jaga kesehatan dan sholatnya ya, aku numpang di teman saja, atau di mess kantor lama"
Dari petikan diatas, siapa yang sebenarnya masih cinta dan siapa yang sudah bosan dengan hubungan semacam labirin tanpa ujung?
Yang tadi di Solo, seolah kurang antusias mendengar yang dari Jakarta telah datang ke Jogja, dan yang dari Jakarta, mungkin sudah bosan atau mungkin memilih tidak bertemu dulu dengan seseorang yang ada di Solo, padahal yang di Solo mau saja bertemu, meminjamkan tempat, tapi harus pulang lagi ke Solo. Setelah percakapan itu, yang di Solo, entah mengapa harus di SMS dulu oleh si Jakarta baru mau SMS, dan yang di Jogja, berkelana ke teman-teman lama, seolah masuk kembali ke dunia lampau yang kadang teramat abu-abu sekali.
Ketika si Jakarta mencoba mengirim pesan singkat HP ke si Solo,
"Oek..Oek... kamu sedang apa... Aku kangen....??"
dan lalu si Jakarta menunggu lama, menanti jawaban dari si Solo dengan gundah kerena sangat rindu, apa gerangan si Solo menjawab?
"Kamu tak ikut demo......? :) "
Tentu si Jakarta yang kini menjadi si Jogja heran... 'demo??? maksudnya apa', kata si Jogja di dalam hati, berfikir agak lama, dan baru diingatnya, bahwa ada demo -yang katanya besar-besaran- hari ini, serempak di seluruh Indonesia, sebenarnya si Jogja malas sekali menyimak berita akhir-akhir ini, setelah beberapa waktu yang lalu, dikenyangkan oleh berita "Buaya Vs Cicak", tapi hal ikhwal kerena sang Presiden Indonesia "degdegserrr" oleh situasi politik akhir-akhir ini, justru malah membuat si Jogja menyalakan Tv pagi-pagi sekali -karena sudah tahulah, karena si Jogja sudah berminggu-minggu tak bisa tidur malam, dan malah sibuk chating YM, atau buka situs 'pertemanan khusus' yang ujung-ujungnya semacam menyibakkan hasrat yang terpendam-, begitulah cerita di TV, perdebatan pakar -berperut buncit- dengan pakar -berperut buncit- yang lain, ini dengan itu dan sebagainya, apa mereka tak berfikir bahwa pagi itu banyak orang yang masih menahan lapar dan tinggal di lapak-lapak liar? ah sudahlah, saya bukan ahlinya, saya kira cerita si Jogja menyimak situasi politiknya kita cukupkan sekian, Selanjutnya...
Si Jogja karena merasa kesepian dan hampa, karena akhirnya dapat kabar bahwa yang didapat adalah sebuah pekerjaan di Jakarta, hampir dikala luang selama di Jogja beberapa hari, memakai komputer kantornya dan juga warnet untuk sesuatu yang tidak berguna, berkenalan dengan orang-orang aneh, yang sukanya sekali tancap lalu pergi ngacir, mengingatkannya pada masa lalu, setelah bosan dengan dunia petualangan -sesungguhnya, macam naik gunung, arung jeram, diving, caving-, lalu beberapa tahun yang tak terlalu lampau, berpuas-puas dengan petualangan dunia maya, dan karena akhirnya merasa bosan dengan berpetualang, lalu menjalin hubungan khusus yang teramat pribadi secara lahir bathin dengan si Solo. Tapi begitulah nasib hubungan ini, benar-benar seperti labirin seperti yang telah dikatakan, 'ruwet buangett rekkk', jadi, kemanakah si Solo, mengapa tak juga menghubungi, apa dia tega membiarkan si Jogja kecanduan dunia maya, sampai ketiduran di bilik box, atau mengumbar hasrat dengan menonton yang tidak-tidak... Astaga.
Akhir-akhir ini si Jakarta yang tadi menjadi si Jogja, jadi merasakan kesepian yang teramat luar biasa, sekali lagi bukan karena apa-apa semisal korupsi indonesia, atau bobroknya peradilan kita serta reformasi jalan ditempat, mungkin juga pekerjaan yang resign, tapi kehampaan itu hadir hanya karena cinta, sesuatu yang pada dasarnya sangat tidak pantas dikawatirkan oleh sebagian laki-laki yang suka berpetualang ke mana-mana. si Jakarta akhir-akhir ini sangat rapuh, sering kali dia menghubungi si Solo dan bertanya,
"kamu tidak merasa kehilangan kalau aku pergi..?"
"Tidak" begitu jawab si Solo singkat
apakah itu artinya si Solo sudah tidak Cinta?, tapi bukannya si Solo menawarkan kunci rumahnya untuk dipakai si Jakarta, si Jakartanya malah tidak mau, memilih tidur dengan temannya, atau chating dengan orang-orang tak jelas, karena alasan yang dia buat-buat sendiri dan di tanam berlahan-lahan dalam hati terdalam yang menyatakan,
"aku cinta kamu, tapi mengapa kamu tidak merasa...? apa kamu sebenarnya memang sudah tidak cinta lagi??"
Kesimpulan sendiri dalam hati itu, yang membuatnya nekat melakukan hal-hal yang mungkin menyalahi hati nuraninya, mencari seseorang untuk menjadi pelampiasan sementara, menyentuh sedikit untuk melepaskan kehampaan, apakah itu salah??? bukankah dulu si Solo mengatakan,
"aku masih sayang sama kamu, tapi sekarang bentuknya lain"
Waktu itu si Jakarta berfikir, apakah sayang memiliki bentuk? apakah sayang bisa berubah-ubah, apakah sayang bisa berganti rupa? dan akhirnya, kini si Jakarta tahu, sayang ternyata tidaklah abadi, sayang itu sejenis konsepsi, seorang pakar sosiologi kondang menyatakan, kurang lebihnya: semua 'sayang' bisa kita jalani, asal demokratis, ungkapan ini seperti pisau bermata dua, semua 'sayang', berarti ada bermacam-macam 'sayang', 'bisa kita jalani' memiliki maksud yang sangat relativ, dan satu kata 'asal demokratis', apakah 'sayang' memiliki asal akar demokrasi?
Berarti orang-orang yang tidak mengenal 'demokrasi' atau yang kurang paham 'demokrasi' artinya sayangnya kurang sempurna, apakah itu artinya hubungan dua orang tadi kurang 'demokratis' sehingga si Jakarta mengesahkan secara konsensus sepihak untuk melakukan hal-hal yang pada dasarnya 'salah', apakah itu tergolong demokratis?
"kita kan inginnya hubungan ini akan membuat kita jauh lebih baik? itu komitmen awal kita dulu kan?"
itu mengapa si Jogja mengajak si Solo mengikuti kegiatan-kegiatan khusus untuk mengasah moral spiritual yang diakui oleh keduanya masih sangat kering. Nun di saat si Solo -yang juga diamieni oleh si Jogja- menemukan jalan spiritualnya yang baru, sementara si Jogja malah 'nangsang', di situasi yang tidak dikehendaki -dengan tetap terjebak dalam labirin retorika 'abu-abu'-, apakah si Jogja pantas tersenyum karena kekasih hatinya telah 'kembali', dan ketika si Jogja masih menyayangi si Solo, seperti semula berjumpa, apakah itu masih pantas, bukankah itu artinya bertepuk sebelah tangan, walau memang hubungan itu nyata-nyata tak bisa dilanjutkan lebih jauh lagi karena diakui memang tidak memiliki 'prospek' ke depan.
Akankah si Jogja pantas meninggalkan sendiri kekasihnya di kota itu sendiri, kekasih yang telah membantunya mengerjakan skripsi hingga lulus, apakah cinta memang seperti suatu pertunjukan drama, di mana pada akhirnya yang menang adalah 'Sang Sutradara', hingga setelah kisah itu menurut 'Sutradara' sudah selesai, maka layar berkembang akan dilipat kembali, panggung akan dikosongkan, para pemain membasuh mukanya dari guratan rias topeng setelah pertunjukan usai, dan para penonton lalu ngacir pergi tanpa pamit??
Tapi si Jogja tahu kalau dia mencintai si Solo bukanlah sebuah pertunjukan, bukanlah pemain lakon yang dipenuhi oleh riasan topeng muka, dia jujur menjadi diri sendiri, walau dia masih meragukan apakah si Solo yang menjadi kekasihnya hanya melakonkah sebuah drama kehidupan manusia yang singkat. Dua tahun sudah...
Tapi si Jogja tahu kalau dia mencintai si Solo bukanlah sebuah pertunjukan, bukanlah pemain lakon yang dipenuhi oleh riasan topeng muka, dia jujur menjadi diri sendiri, walau dia masih meragukan apakah si Solo yang menjadi kekasihnya hanya melakonkah sebuah drama kehidupan manusia yang singkat. Dua tahun sudah...
[Lalu cinta memiliki sayap yang kokoh sehingga mampu terbang bebas laksana merpati, jangan biarkan merpati itu terkurung sekejab pun walau bersangkarkan emas dari surgawi. I Love U, deeply in my heart.]