HTML tutorial
varihsovy.com
  • About
  • Get inspired
    • Traveling
    • Culinary
    • Fun
    • Film
  • Mine !
    • Family
    • Opinion
    • Books
    • The Spirit
  • Contact Us
    Instagram Twitter Google+ Facebook Linkedin
    close

Papa, Kamu dan Aku


 I.
Akhirnya Kereta api yang ku nanti datang juga, stasiun yang begitu ramai, orang-orang berbondong-bondong berangkat kerja berebut memasuki gerbong, sudah tahu tidak banyak kursi yang tersisa di dalam sana, tapi tetap saja berebut naik, mungkin percaya bahwa 'siapa yang pertama dia yang dapat',  atau mungkin orang-orang itu takut ketinggalan kereta? bukannya mereka sudah tahu bila kereta akan berhenti  dalam waktu yang sudah ditentukan dan akan berangkat sesuai jadwal, atau mereka takut kereta di negeri ini tidak bisa dipastikan? Orang-orang itu harusnya memahami, tidak ada yang pasti dalam waktu lama, sepanjang hidup kita, tapi mungkin bos mereka tidak mau tahu, atau orang-orang yang  itu sedang membuat janji lalu mengelak semua ini sekedar beberapa saat, mengelak semua kemungkinan yang sedikit buruk apa lagi yang paling buruk. Orang bilang, kalau mau tetep hidup harus berani ambil resiko, harus berani mendobrak hambatan, harus menepati janji-janjinya, -dan kelak akan memaklumi janji-janji yang usang, yang dikoar-koarkan di podium, di televisi, di ruang kuliah, di buku-buku, di kutbah-kutbah, di majlis, di dunia maya, di peradilan, dan di mana-mana, karena memang sekali lagi cuma sekedar janji, lalu orang-orang mulai saat itu, akan belajar untuk bisa melupakan sesuatu, mencari cara paling praktis dan instan untuk melupakan segala janji-janji, tetap ingat adalah sebuah penderitaan!.

II.
“terus!!! Nafas dalam-dalam lalu keluarkan......!!!”
“huffffff........ “
“lagi! Lagi!!!  Yang kuat!! Kuat!!”
“hufffff argggggggggg!!!!...... dookkkkk!!!”
“lagi... lagi..!! nafas yang kuat! Keluarkan yang lebih kuat! Kencang...fokus!!!”
“hufffff arrrggggggg!!!!.........”
“bagus... tinggal sedikit lagi!!!! Nafas lagi!!!!
“arrrggggggg!!!!!!!!!”
......
“Oekkkk.......oekkkkk.... oekkkkk!!!!!”
-dan selalu saja menangis pada saat itu-, setidaknya semua orang, nyaris semuanya
III
“huhhhh hahhhhh huhhhh hahhhhh huhhhhh ahhhhhhh”
“kejar terussssss!!! Kejar!!!!! Kejar sampai menang!!! Kuattt-kuat ayoooo!!!!”
“majuuuu!!! Kencang!!!! Pasti dapat!!! Pasti bisa!!! Kuat! Kuat! Semangat!!! Dahului!! Dahului!!!
“ayooo!!! Ingat!!! Pasti bisa!!! Pasti bisa!!!!!
Dakkkk! Dikkkk! Dukkk! Dakkk!!! Dikkkk! Dukkk!
“shippppp, yachhhh!!!! Kerennn!!! Pertahankan, lari kencang!!!! Semangattt!!! Jauh! Yang jauh lagi!!!
Dakkk! Dikkkk! Dukkkk! Dakkkk!! Dikkkk!! Dukk!!
......
......
“Horeeee!!!! You are winner; you are the best, kamu adalah jantan sejati!! Sang juara sejati!!!”

IV
“lalu mengapa datang kemari terlalu dini....”
“hanya ingin mengatakan sesuatu....aku....”
“sebentar ya...., aku buatkan teh dulu... tunggu ya......”
Wanita itu berjalan kecil menuju dapur, mengambil cangkir, membuka tutup kotak, memasukkan satu setengah sendok gula, ribuan butir-butir gula terjun bebas ke dalam wadah, lalu jutaan molekul air membanjiri ledokan itu, wanita tadi mengaduk-aduk, besi bertabrak dengan kaca, suaranya menghantam menembus ratusan ribu mili meter, masuk ke gendang telinga seorang laki-laki, yang mematung gelisah, terduduk kaku, jutaan sel otaknya tegang,  jantungnya berdetak kencang....
-dan ketika secangkir teh itu datang-
“minum ya teh nya..... moga memang manis....”
- lelaki tanggung menelan ribuan mili meter kubik air, bershu 60 derajat celcius, tapi lidah dan bibirnya sama sekali tidak meronta-
-tapi jantungnya terus berdetak kencang-
“aku... aku, ingin mengatakan satu hal... aku... aku...”
.....
.....
“ aku mencintai mu!!!”
-diucapkan dengan sangat cepat, seperti suatu ledakan dari gunung api yang sedang marah-
...........
-wanita itu diam sejenak, agak terkejut, menatap lelaki yang ada di depannya dengan tatapan anggun, tak lama lalu tersenyum-
-lelaki tadi langsung membalas senyum, sangat kaku, pula sangat lugu-
Wanita itu terlihat sangat seksi, senyumnya, bibir merahnya, pfffff, tapi tak semua laki-laki bisa memahami maksudnya.

V.
Aku menaiki kereta usang ini, puluhan orang berjejalan dalam satu gerbong, penumpang-penumpang yang baru datang terlihat masih bugar, tapi kebanyakan adalah penumpang dari stasiun-stasiun yang jauh, dari Kerawang, dari Indramayu, dari Cirebon, dari Tegal, dari Kebumen, dari Kulon Progo, dari Jogja, betapa lelahnya mereka,dan aku tidak mendapatkan tempat duduk pagi ini, biasanya musim libur, semua kursi penuh sejak dari Bekasi, tak apalah, cuma tak lebih setengah jam lagi sampai k stasiun kota. Barangkali ada banyak orang yang akhirnya menjadikan hal gamjil menjadi sesuatu yang biasa saja, seperti pagi ini: waria yang bernyanyi asal-asalan meminta saweran dengan gincu dan buah dada tanggung, anak kecil yang membesihkan lantai gerbong lalu meminta bayaran setengah memaksa sisanya memelas, orang buta yang ditenteng anak kecil sambil memintang sedekah, mbak berjilbab yang membaca beberapa ayat suci lalu meminta sumbangan yang katanya buat masjid yang baru dibangun di entah berantah, wanita-wanita berdandan menor menyanyikan beberapa lagu dangdut, asal ‘njeplak’, mengiringi soudsystem kacangan yang berisik, penjual macam-macam: baju, mainan, buku, hulahop, pecel, roti dan sebagainya –seruak seperti pasar maam-, aku, dia dan mereka menjadi sangat terbiasa, terbiasa untuk membiarkan semua lewat begitu saja,  membiarkan semuanya mengalir apa adanya, semoga Tuhan memberkahi mereka semua, amean.

VI.
Bayi itu lucu sekali, cara dia tidur, cara dia bangun, cara dia tertawa, cara dia menangis, cara dia merengek, ibu menidurkan bayinya di atas dipan kecil, berselimut halus, berbantal mungil, seorang perempuan telah menjadi ibu –bagaimana rasanya?-, dan seorang laki-laki telah menjadi ayah –sekali lagi bagaimana rasanya??-, dan karena seorang bayi baru saja  dilahirkan di dunia, yang lama menjumpai yang baru, yang dua sedang menjalani hidup dan yang satu benar-benar baru memulai sesuatu di dunia yang benar-benar telah lama, lama dan teramat usang.
“kita bisikkan -di telingnya yng masih rapuh- doa-doa”
-dan kelak dia akan dilatih untuk membedakan mana bahaya dan mana kesempatan, untuk membedakan mana musuk dan mana kawan, untuk membedakan apa itu syetan dan dimankah malaikat akan menolong, apa itu Tuhan dan apa itu manusia, apa  itu dosa serta kesalahan dan apa artinya memaafkan-
“kita nyanyikan untuknya lagu kasih sayang pengantar tidur”
-dan kelak  dia akan dilatih untuk membedakan, apa itu kasih sayang dan apa itu penghinaan, apa itu cinta dan apa itu kebencian, apa itu kesetiaan dan apa itu pengkhianatan, apa itu persahabatan dan apa itu kesepian, kesendirian dan kehampaan, makna kesetiaan, dan sesuatu yang dipandang pengkhianatan-
“panggil ini papa, panggil ini mama, panggil ini eyang, panggil ini om, dan kami memanggil mu, dinda”
Bayi itu lalu tertawa.....
“papppppaaaa..... mammmmaaaahhhhh, eang..eang, oo...oooo, iiiiaaaaa”
Mereka semua tertawa
-kelak bayi itu akan sadar apa artinya aku, apa artinya keluarga ku, apa artinya kelompokku, apa artinya persekawananku, apa artinya negaraku, apa artinya dunia ku, apa yang bukan diriku, apa yang bukan keluargaku, mana yang bukan kelompokku, mana pula yang tidak pantas menjadi kawan, mana yang bukan negaraku, dan apa yang tidak akan terjadi du dunia ini-
-air hujan turun dari langit-langit yang buram seburam arang yang menempel di langit-langit dapur di kampong halaman, tetesan rintik beriak dan mengambil bagian dalam arus yang besar, selokan menjumpai sungai kecil, sungai kecil memeluk sungai besar, sungai besar mencumbui lautan, lautan menyetubuhi smudra, mengendap di dasar palungan atau menguap, melayang di cakrawala biru, setiap manusia menjumpai taqdirnya masing-masing, mengapa banyak lelaki jantan dilarang menghapus air matanya, dan mengapa wanita betina harus belajar memendam rasa, sejah beribu tahun yang entahlah-

VII.
“juara kita kali ini adalah ...........”
“Horrrrrreeeeee................ hebattttttttttttttttt, I love you honey !!!!, we are stand by you!!!, God Blass U!!
Laki-laki itu memohon untuk pamit dari kerumunan pesta, kerumunan yang hiruk pikuk sekali, kembali dia di kamar hotelnya, seperti sepanjang pesta tadi, sering kali melirik hapenya, barang kali ada sms yang masuk dari orang itu, barangkali orang itu miskol, barangkali dia melewatkan panggilan telephon dari orang itu, beberapa kali dia berusaha menghubungi nimernya tapi tidak pula diangkat, tapi tak pula ada kabar dari orang itu, hanya berjibun sms ucapan selamat dari teman dan orang-orang lain, berpuluh panggilan dari kawan-kawan serta nomer-nomer asing yang dia tidak kenali, dan seperti biasa tidak pernah dihiraukan oleh lelaki itu, tapi tidak ada nomer orang itu, orang itu yang membuatnya selalu merasa ada, merasa jauh lebih ada daripada kerumunan orang-orang di conference room hotel di lobi bawah, merasa jauh lebih bermakna dari medali yang telah dia peroleh dengan susah payah, dan karena begitu bermaknanya, maka karena orang itu tidak berjejak, dunia ini terasa hampa, dunia yang seruak seperti sengaja diciptakan dengan sempurna untuk menambah rasa sepi yang mengasingkannya, -seperti tubuh bugil yang tiba-tiba terlempar di tengah kerumunan ribuan bison, yang mendatanginya hanya untuk pergi tanpa meninggalkan sepatah katapun untuknya-
“tutttt...... tuttt........ tutttt....... tuttttt.....”
“maaf telpun yang anda hubungi tidak diangkat, silahkan tinggalkan pesan setelah  nada berikut ini, ting...”
“tutttt..... tutttt...... tutttt....... tuttttt...”
“maaf telpun yang anda hubungi tidak diangkat, silahkan tinggalkan pesan setelah  nada berikut ini, ting...”
“wanita binal, cerewet...............pfffff......”
-lelaki yang mengumpat penjawab otomatis, mengapa harus wanita yang bersuara merdu, mengapa bukan anak kecil, kakek nenek atau pejantan yang kegatalan???-
Lelaki itu merasakan cinta yang begitu mendalam dan menusuk-nusuk di ulu jiwa, seolah lenyap pula seluruh jiwa raganya kala hilang sang kekasih tercinta.
“sayangku, cintaku pada mu tidak akan pernah lenyap oleh apapun, walau tadi malam telah tidur seseorang di samping ranjangku, dan nanti malam, akan tidur pula seseorang lain di samping ranjangku, perkenankan aku belajar mencintai mu berlahan-lahan...”
Lelaki itu menengok tombol telepon hotel, memandang begitu lama, lalu mengndahkannya lagi, terbujur tegang dan gelisah diatas ranjang empuknya, dan terbayang...:

[“aku mencintai mu sayang...”
Orang itu menjawab dengan berdiri diam..
“jangan marah, plz....  maafkanlah, segala kesalahan ku”
Orang itu hanya menjawab dengan menatap lelaki itu tajam...
“Aku... aku....”
-sebelum ucapan tergagap usai, orang itu memeluk lelaki itu dan berbisik, “cinta membutuhkan pengorbanan, cinta membutuhkan keyakinan, cinta adalah kepercayaan... karena itulah aku mencintai mu”, kata orang itu-]

“krrringggggggg.................krrriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing.....................krrrring..............”
Orang itu akhirnya menghubungi nya
“Ya hallo.....”
“maaf, aku sedang di rumah sakit, ayah baru saja masuk rumah sakit, serangan jantung, maaf aku benar-benar tak bisa menghadiri pesta mu”
“ kamu di mana sekarang...?”
“ya... aku akan ke sana, segera....”
Lelaki itu terbujur lemas diatas ranjangnya, air mata lelakinya sembab di tepian, dia menghapusnya sebelum menetes. Dia bangkit, dan seluruh dunia seolah terisi kembali oleh bunga-bunga yang mekar.

VIII.
Pemuda itu telah berhasil mengatakannya, tapi wanita itu hanya menjawab diam,
“minum tehnya jangan sampai dingin” kata wanita itu mengalihkan
“jadi.... apa.. apa.. engkau....”
“manis tidak? Kalo kurang manis aku ambilkan gula dulu ya....”, lalu wanita itu berlari kecil, seolah tidak memperhatikan kata-kata pemuda itu.
“aku ditolak...... “ bisik laki-laki itu, bersama dengan kegelisahan yang membuncah.
Tak lama wanita itu datang sambil membawa sekotak gula, dan diselipkan dibawahnya secarik kertas, lalu pemuda itu menerima kotak itu, dan merasakan secarik kertas, lalu dengan ragu membukanya..
“dari dulu aku berharap engkau mencintai ku...”
Lalu pemuda itu dan wanita itu tersenyum simpul

IX.
[Mengapa kereta api kelas ekonomi kita dari dulu lampau tidak pernah berubah, harus mengalah, harus berbagi kursi, harus berdiri, harus terlambat pula, mengapa satu kelompok yang banyak jumlahnya harus mengalah pada yang jauh lebih sedikit,
“dari dulu memang begini pak” kata kawanku
“kereta api ekonomi besar pasak dari pada tiang, bayarnya juga murah...” kawannya yang lain menambahkan
“ah bapak, namanya juga ekonomi, bapak mungkin bisa protes, tapi orang-orang biasa tak pernah protest tuh..” –jadi aku luar biasa?-
Mungkin bagi sebagian orang, beberapa puluh ribu rupiah bukanlah nilai yang begiti berharga, tapi bagi sebagian besar orang, harga segitu hanya bisa didapat dengan usaha keras sepanjang hari, para buruh, para kuli, para tukang, petani kecil, pelacur, pengemis. Mengapa orang-orang segelintir selalu melihat orang lain hanya melalui sudut pandangnya sendiri, apakah orang-orang sukses telah melupakan masa-masa dulu saat berjuang keras merintis segalanya dari nol, atau  bahkan minus sekian nol, lalu membiarkan kesulitan itu agar dilalui pula oleh orang-orang lain, -mengapa tidak memungut duri tengah jalan yang telah kita lewati?-. Kalau engkau memiliki kesempatan untuk menolong orang lain agar lebih baik di kehidupan yang teramat singkat ini, mengapa tidak engkau lewatkan kesempatan itu, karena kesempatan dating dan pergi sewaktu-waktu, dari engkau kecil, hingga engkau tua seperti aku, bukankah kita ini hidup tidak untuk mati lalu menjadi tanah? Rumah kita yang sejati ada setelah kematian ini, kita seperti musafir yang berbagi air di tengah perjalanan yang melelahkan, dari mana mereka bisa membuktikan bila kematian akan mengahiri segalanya? Lalu dengan keyakinan itu mereka memaksimalkan hasrat terpendam mereka sendiri, dan pada akhirnya gerbong kereta kita, pasar-pasar kita, sekolah-sekolah kita, sawah-sawah petani kecil kita, angkot dan mikrolet kita, pelacur-pelacur kita, pencuri-pencuri kecil kita, gelandangan kita, jompo-jompo kita, orang-orang gila kita, para pecandu setengah waras kita, dan mereka yang diasingkan itu, serdadu dan peperangan kita, bumi kita, semuanya itu dibiarkan menjadi usang berlahan, roboh berlahan, tenggelam berlahan.  Apa yang bisa kita harapkan dari hidup yang singkat ini, apakah kita memang seperti penumpang dalam gerbong kereta tua itu, yang hanya bisa berdiri dan duduk, lalu menunggu hingga kereta itu membusuk, karena kita hanya hadir sebagai penumpang dari zaman-zaman yang tidak pernah diperbaiki dan tidak pernah kita miliki sepenuhnya, -kita hanya penumpang-, kita merasa tidak memiliki waktu ini, tidak berada di sekarang ini!]

Aku terbangun dari pingsan sesaatku, yang membawaku menelusuri gerbang tua, semasa dulu setiap berangkat bekerja, sekarang aku hanyalah lelaki yang lemah, duda dari istri setia yang mencintai ku sepenuhnya, yang telah dipanggil keharibaannya beberapa waktu berselang, aku baru sadar dari mimpi-mimpi muda ku, dan diatas ranjang ini anak-anak ku berkumpul dengan istri serta anak mereka,
“syukurlah papa sudah bangun..” kata anak perempuan tertua ku, dengan menantu dan seorang bayi mungil.., aku menatap rapat-rapat bayi mungil yang disodorkan didekat ku.....
“papa istirahat yang yang cukup yaa.... jangan berfikir yang enggak-enggak” kata anak ku laki-laki,  dengan kekasihnya yang merapat di dekatku, sengaja dikenalkan untukku, wanita yang cantik... ‘siapa nama mu nak.....’ bisik ku, tentu dia tidak mendengarnya dan terus saja tersenyum
“nama saya Erika.... semoga bapak sehat selalu....”
“kami berdoa selalu untuk papa, papa tak usah lagi jalan jauh-jauh naik kereta, jangan bilang lagi kami tidak peduli pada penderitaan orang lain, kami telah dan akan selalu melakukan apa yang papa nasehatkan, jangan difikir terlalu dalam, pokoknya bapak harus sehat” kata anak perempuan ku yang paling muda, kekasihnya berdiri disamping pintu, ‘jangan menjadi asing, ini juga keluargamu’, bisik ku, lalu laki-laki itu datang, tersenyum sambil mengusap lenganku,
“nama saya Bima... semoga bapak lekas sembuh....”
Kini, aku adalah orang tua yang sangat rapuh, mungkin tidak terlalu tua bagi kebanyakan orang, tapi sakit ini telah membuat ku lebih tua dari umur ku,
“jangan terlambat menyesali sesuatu, yang mungkin bisa kita lakukan di masa-masa yang sudah lalu ditunda kerena merasa umur kita masih muda”
“papa, sudah, istirahat saja...”
“Hormatilah keluarga yang telah kalian miliki, cinta yang telah kalian dapatkan dan kehidupan yang kalian jalani, hidup itu begitu singkat, coba lihatlah dari nasib ibu kalian dan ayah kalian”
“papa, sudahlah, jangan bicara macam-macam...”
“Cinta itu hadir untuk mengisi kekurangan dan melengkapi hidup ini, tapi bantulah orang lain selama kalian diberikan kesempatan, papa kalian menyesal karena mungkin kurang berbakti pada anak-anaknya, maafkan papa..”
“sudahlah papa... kami akan selalu memaafkannya, itupun bila ada, kami yang harusnya minta maaf...”
“semoga kalian selalu dalam lindungan dan bimbingan-Nya.....”
Aku menatap mata bayi mungil yang didekap putriku, aku ingin menyampaikan terimakasih pada-Nya yang telah menyempurnkan untuk ku keluarga yang memiliki harapan. Aku berharap anak-anak ku memaafkan kesalahan ku dan juga istriku, semoga mereka bisa mengambil hikmah dari kenangan seadanya yang kami berikan, ingin sekali ku katakana banyak hal, tapi... Ada sesuatu di dekat urat leherku, yang mendingin lalu bergerak lepas begitu saja, meledak dalam haru biru di langit-langit, di kedalaman bumi, di cakrawala, dan bujur bintang. aku memang tak tahu aku akan mati hari ini, tapi aku bisa merasakan aku akan mati saat ini.
***


Labels: cerita
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Footer