Akhir-akhir ini kerjaan ‘sampingan’ saya menjaga kedai Jepang milik teman membuat saya malas menulis, bukannya tidak percaya lagi bila menulis sebagai sebuah kekuatan yang telah dibuktikan oleh sejarah peradaban mampu menjungkir balikkan hidup individu, masyarakat dan dunia, tapi saya sedang kehilangan flavor acid untuk merangkai kata-kata, hilang karena puas melayani orang-orang yang terpuaskan oleh sensasi kelezatan dan kekenyangan karena sajian sepasang Dorayaki dan Ocha, atau Ramen dengan Orange juice, semua dari racikan tangan saya, saya baru merasakan seumur-umur suatu Hand God, menyelinap dalam jari-jari saya yang lentik (?), puas!!
Sudah seminggu lebih saya ‘bekerja’ sebagai ‘pelayan’ di warung milik teman yang baru dibuka, buka warung setelah tiga tahun mengembara ke Benua Jepang –term from Huntington-, sambil menunggu –insyallah- awal bulan ini kerjaan baru yang positive 90 % -alhamdulillah-. Menjual pelayanan adalah pekerjaan paling trend dan sangat dominant di jaman baru ini, Cal, teman geng saya pernah bercelutak ‘pelayan!, mending setahun nyari kerja –nganggur- dari pada harus menerima jadi pelayan’, pacar anggota geng saya yang lain, Ed namanya, menjawab ketus, segala pekerjaan itu hampir semuanya pelayanan, service, kita semua menjual pelayanan, Bank menjual pelayanan menyimpan uang, pedagang menjual pelayanan menawarkan dagangan, komunikasipun –bidang bisnis paling mengeruk banyak keuntungan pada decade ini- lebih banyak menemukan ide-ide inovasinya melalui prinsip: bagaimana menghidangkan pelayanan yang paling perfect’.
Hmmm, saya setuju dengan pembelaan si Ed yang sebenarnya memang agak tersindir karena dia memang bekerja di bidang pelayanan konsumen, tapi mungkin maksud Cal ada benarnya juga, adalah pelayan dalam bentuk term yang sederhana, mungkin sebuah diskripsi dangkal bahwa pelayan adalah: orang 'dekil' yang disuruh sana sini tanpa menggunakan otak dengan gaji murahan. Kalau yang dimaksud itu, si Cal juga benar, saya juga setuju, mungkin si Ed juga setuju.
Di jaman di mana equality sangat dijunjung tinggi, maka term ‘pelayan’ ikut di-pejorative-kan (dihaluskan) dengan banyak wild term : SPG, SPV, staff, bahkan terkadang Direktur atau wakil presiden yang pada hakikatnya pelayan, yang secara kasar saya artikan : mereka yang tak punya modal atau dan bekerja untuk orang lain dan menuruti perintah pemodal dan atau penguasa dengan cara memenuhi target-target yang telah ditetapkan demi mendapatkan prevails atas akses finansial alias gaji. Anehnya lagi si Cal tadi bilang, ‘mas, next time saya bermimpi bekerja di kota yang tidak terlalu sibuk seperti Jakarta, misal di Kediri, dan menjadi staff tinggi di perusahaan semisal Gudang Garxxxx’, akhir-akhir ini kata-kata itu terngiang dalam otak saya: dapat mobil, rumah, privasi atas kehidupan pribadi, akses terhadap finansial tapi 'bekerja untuk orang lain' , yang lebih buruknya bekerja untuk asap rokok, heh?? Apa tidak rugi kuliah di Ekonomi UGM bertahun-tahun?
Kakak saya yang tinggal di negeri kutub dengan istrinya, pernah berceloteh ‘le, lek neng kono, jenengi bocah wes umur rong puluh tahun kwi biasane wes ra gelem di sangoni, gek pencen ra dikei duwet maneh karo wong tuwone, pengen mandiri dewe utowo pencen dipekso mandiri’ –orang di negeri kutub kalau sudah umur 20 tahun sudah tidak mau minta orang tua dan orang tua sudah tidak wajib ngasih-, saya juga melihat melalui film jepang ‘Nada Saosa’, bahwa begitu anak menginjak 20 tahun, maka dia diperbolehkan mabuk sebagai simbol: bebas memilih nilai dan mengatur hidupnya sendiri. Kebiasaan ini sangat mendorong rakyat di negara-negara tersebut untuk lebih mandiri, dan menanamkan jiwa entrepreneurship, dan kebanyakan tetap dalam bidang pelayanan jasa tapi tidak diajarkan menjadi pelayan dalam makna yang tadi saya bilang ‘kasarannya’. Berpisah dari orang tua, belajar hidup sendiri dan menentukan hidupnya sendiri membuat setiap orang –mungkin- untuk berfikir sungguh-sungguh setidaknya pertanyaan: 1. apa dan untuk apa hidup? 2. Bagaimana cara mendapatkannya 3. Tindakan apa yang harus saya lakukan.
Pertanyaan pertama berhubungan dengan idealisme, atau pandangan hidup, berkaitan dengan filsafat, etika dan keyakinan paling personal setiap orang, di mana makna jatidiri dan prinsip-prinsip hidup dipegang teguh, dari situ memunculkan pertanyaan kedua yang berkaitan dengan skill, kekayaan portaging, dan perencanaan, dari dua dasar ini muncul pertanyaan ke-tiga yang terkait dengan etos kerja, aksi nyata yang merupakan alam tindakan –materialisme dialektika-.
Dari sini saya mengakui, negara dunia satu jauh lebih unggul, ‘strukturalisme’ pola pikir menjadi dasar utama kebudayaan masyarakatkan, di mana filsafat dan keyakinan menyatu dengan tindakan, tidak sebaliknya di banyak kasus di dunia timur, filsafat atau pandangan hidup sebagian diantara anak muda kita -tidak semuanya- belum matang benar, sementara di sisi lain harus terbentur oleh realitas pasar yang komersil dan konsumtif, kebanyakan akan menjadi sasaran pasar yang seruak dan sering kali memuakkan, karena pada dasarnya landasan pertanyaan tentang apa dan untuk apa diri kita hidup belum memiliki jawaban yang matang, karena alam fakir kita belum systemic, bahkan kadang kita mencampur adukkan idealis dan materialis, alam ide dan tindakan realis dalam satu box Pandora –berharap dari box itu kita bisa meminta apa saja-, campur aduk seperti membuat adonan Dorayaki.
Hmmmm… dan sayangnya hidup bukanlah seperti adonan kue, bahkan adonan kue pun tercipta tidak sekedar asal dimasukkan, terlebih dulu harus mengerti apa yang akan kita buat, lalu tahu takaran-takaran tertentu, berapa gram untuk tepung terigu, berapa sendok untuk garam, dan lain-lain, kemudian bagaimana cara mengaduknya, berapa suhu untuk memanggangnya, dan terakhir bagaimana cara menyajikan serta menghidangkan, semuanya terstruktur sehingga berharap akan menyenangkan para pelanggan.
Jadi jelas sekarang, mana yang secara kasar disebut PELAYAN para BOS-BOS dan siapa yang dapat dikatakan PELAYAN bagi HIDUPNYA SENDIRI. Gambate!!!