Hari-hari ini, pada masa-masa yang tidak terlalu lampau, kita memperingati apa yang dulu kita sebut Hari Kesaktian Pancasila, hari dimana anak-anak SD hingga para pegawai negeri di lingkungan universitas waktu itu dihimbau melalui pidato presiden, upacara bendera dan film yang selalu diputar setiap tahun untuk menghayati perjuangan dan pengorbanan pahlawan dan terutama ‘pejuang’ revolusi, yang dalam hal ini dikenal sebagai salah satu panglima tinggi angkatan darat yang kemudian menjadi presiden Indonesia, yang telah menumpas apa yang disebut kelompok pengkhinat Pancasila, partai yang berideologi komunis, PKI.
Menjelang orde baru, maka semua ideologi yang beraliran komunis dilarang, sama halnya untuk rezim orde lama, atau Soekarno, juga dilarang keras untuk bangkit kembali, karena itu pula komunis yang ‘melakukan subversi’ dan orde lama yang digambarkan ‘korup’ tidak boleh lagi mendapatkan tempat di hati rakyat Indonesia. Dan karena kebijakan ini didukung oleh institusi hukum dan militer, yang juga baru disuksesi dari dalam, maka kebijakan ini berubah menjadi revolusi atau tepatnya huru-hara di kalangan rakyat jelata yang sepanjang satu dekade sebelumnya memang telah frustrasi, konflik perang saudara tidak terelakkan, alasan utamanya karena komunis dianggap berkhianat, bukan Indonesia, bukan Pancasilais, bukan nasionalis, dan tidak beragama, maka entah itu orang nasionalis, agamis dan terutama militer, bertindak untuk membabat habis pengikut komunis hingga ke akar-akarnya, siapa yang komunis dia pasti akan mati, disiksa atau dipenjara, tanpa mendapatkan perlindungan hukum yang sewajarnya, berjuta-juta orang meninggal, tanpa dihormati dan bahkan hilang tanpa boleh dicari jasadnya. Pada akhirnya yang sesungguhnya menderita dan menjadi korban adalah benar-benar rakyat Indonesia sendiri, dan mungkin tetangga atau kerabat dekat kita.
Kalau dikarenakan ‘hanya’ oleh alasan itu, di masa lalu sebelum G30S-PKI, dan setelahnya, harusnya tidak hanya komunis yang dilarang, banyak ‘oknum’ dari ideologi, atau kelompok selain komunis yang condong ke ‘luar’ dalam pemikiran dan hubungan pendanaan gerakan dan kebijakannya, teori individualisme modern dan kebebasan nalar juga menjerumuskan manusia di Indonesia pada pertanyaan tentang institusi agama, bukankah bapak-bapak ilmu pengetahuan modern kita tidak semuanya beragama? Ada pula masalah subversi model baru (oportunis) yang kental di dalam gaya perpolitikan kita, dari sini nyatanya menjadi bias ketika kita menggunakan terma pengkhianat Pancasila apalagi menggunakan istilah Kesaktian Pancasila.
Bahwa nyatanya karena salah satu dari sedikit alasan, yaitu Pancasila : kita disatukan sebagai bangsa Indonesia tidak peduli suku dan agamanya, kita tidak mau terombang-ambing dan dijajah lagi dalam hal kebijakan oleh Belanda, Jepang, atau apapun jua, kita telah menghentikan perdebatan berkepanjangan tentang dasar-dasar negara Indonesia, kita menghargai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dengan keyakinan itu justru tidak ada alasan bagi kita untuk memaksakan dan merekayasa konsep keyakinan kita agar diterima orang lain. Kita berusaha menghormati fakta yang tidak bisa terelakkan bahwa kita berbeda-beda dalam banyak hal, dan beragam asal-usul, tapi kita nyatanya taat pada satu tujuan sebagai suatu bangsa yaitu tujuan atas martabat yang mulia lahir bathin bagi semua manusia Indonesia. Mungkin inilah kesaktian Pancasila yang ingin diraih bersama.
Setiap warga negara Indonesia memang berhak menafsirkan makna Pancasila dan sejarah bangsa ini karena keduanya memang hak milik kita sendiri, namun dengan hak istimewa tersebut semoga tidak terulang lagi mengorbankan berjuta-juta nyawa rakyat Indonesia dan perlakuan tidak adil yang diterima oleh sebagaian warga negara ini oleh sesama warga negaranya sendiri. Selamat mencintai Pancasila.