HTML tutorial
varihsovy.com
  • About
  • Get inspired
    • Traveling
    • Culinary
    • Fun
    • Film
  • Mine !
    • Family
    • Opinion
    • Books
    • The Spirit
  • Contact Us
    Instagram Twitter Google+ Facebook Linkedin
    close

22 11

angka yang sering saya ingat, twin, simple, renyah. akhirnya saya memasuki masa yang seharusnya sangat matang, seharusnya siap secara finansial, moral dan bathin memasuki jenjang pernikahan, suatu masa dimana yang diperjuangkan tidak sekedar aku, tetapi kita dan juga kami. kenyataannya itu memang cuma seharusnya, dan seharusnya pada kenyataanya tidak seperti itu.

beberapa orang memang telah menikah jauh sebelum umur ini tiba, beberapa kawan sudah memiliki 2 atau bahkan 2 lebih setengah buah hati, selebihnya kenalan atau kawan saya yang lain bahkan belum juga menikah di umur mendekati tiga puluh, tigapuluh lima, atau mendekati empat puluh, tapi memang 'umumnya' umur saya hari ini adalah sering kali menjadi masa-masa awal rumah tangga.

saya memang tertinggal oleh 'gerbong pada umumnya', dalam banyak hal bahkan mendekati memalukan, saya sangat menyadari itu, terutama dalam finansial, saya seperti bangunan yang terlihat reot dan hampir runtuh. dan karena telah menjadi kebiasaan, maka saya tidak merasakan bangunan yang saya bangun itu 'nyaris' runtuh, dan mungkin akan menimpa saya suatu hari nanti. dalam hal kesiapan bathin, yang ini masalah yang lain juga, bukannya saya memfokuskan pada kehidupan yang langgeng dan berwawasan ke depan, tapi saya justru merputar pada masalah-masalah nilai, dan terlalu mengawang-awang, saya terikat erat pada perdebatan, yang ujung-ujungnya memang tidak berujung dan bermuara. dan hari ini, hal-hal itu 'seharus'nya sudah selesai, tapi 'seharusnya' seperti tadi saya bilang, menjadi tidak harus dalam kenyataanya.

ketika saya berkunjung di teman perempuan terdekat saya, ada seorang suami dan bayinya yang mungil, saya sempat berbisik padanya," kok mungkin?", perempuan yang sudah saya anggap sebagai kakak sendiri itu menjawab, "ya.. semua kalau mau belajar, ya mungkin". jawabannya memang sederhana, tapi entah itu solusi atau mungkin awan yang melintas lalu lalang saja, saya bingung harus saya 'iya' kan atau 'tidak'kan, saya cuma tersenyum waktu itu.

temen dekat perempuan saya itu sebelum dia memutuskan menikah, saya tahu betul kalibernya, tidak secara privasi, tapi secara tingkah laku dan pikiran liarnya, hobi manjat, gak canggung sama cowok manapun, dan lain-lain yang biasa dilakukan cowok tapi tak biasa dijalani betina, tapi toh diumurnya waktu itu yang sepantaran saya sekarang ini, akhirnya membuat ia menyerah, lari ke institusi negara dan mengajukan kawin, dan kemarin bayinya lucu sekali, saya terharu, hampir menangis, sempat saya berfikir, punya bayi tapi tidak ribet-ribet harus menikah, ah tapi saya tidak seberani itu, saya tahu diri lah.

lalu, apa memang dalam waktu 'dekat' saya harus menikah ?, tidak ada  keharusan, tapi kondisi sosial semakin menekan, teman-teman esde, es em pe, es em a, temen kuliah, nyaris mengirimi undangan pernikahan setiap bulan, memang saya dalam hati kecil tidak terlalu tertekan, sama sekali, yang menekan saya justru omongan orang, saudara dekat saya juga sering mempertanyakan, "lalu mana perempuan mu?" dan saya biasanya cuma tersenyum, pada saat seperti itu, anehnya saya seperti ingin ditelan mentah-mentah bumi.

rashul bilang, pernikahan itu adalah mengikuti sunnahnya, tapi tidak selalu wajib bagi setiap orang, tergantung pribadi masing-masing, wajib bila memang sudah siap dan tak bisa menahan, sunnah bila memang dah siap, boleh bila ketentuan syarat rukunnya sudah terpenuhi, bahkan makruh bila belum siap secara lahir-bathin, atau haram bila memang dengan pernikahan itu malah menimbulkan kerusakan. jadi apakah hukumnya bagi saya menikah.
lain halnya dengan satu temen lainnya (karenanya beruntung, saya memiliki banyak pembanding), dia berumur 35 tahun, seorang dokter yang sedang meneruskan s2 nya satu kampus dengan saya, tapi anehnya dia masih suka pacaran, seperti anak-anak es em a juga, yang masih jatuh cinta dengan tangis menangis (hufff). satu lagi, satu temen saya lagi yang lain bahkan merasa tidak akan menikah, dan mending hidup sendiri dengan anjing-anjingnya, padahal dia lebih muda dari saya. masa depan yang aneh.

ya begitulah, saya sebenarnya tidak sedang mencari teman yang sama-sama menunggu datangnya kereta api berikutnya, memang rasanya saya masih bisa mengambil sikap tenang, tapi entah mengapa walaupun punya kesadaran jender dan kehidupan semi urban yang setengah bebas, hati saya tetap merasa tinggal di pedalaman kampung halaman, tempat padi yang kemuning menunggu panenan, atau sungai meliak-liuk yang jernih, dengan tetangga yang saling berbagi kiriman makan, dan terutama beradu gosip yang sederhana tapi tidak sebahaya di kota-kota.

22 11

jadi apakah sekedar pernikahan yang menjejal di otak saya ?? saya benar-benar mengalami keluguan, bila yang saya pikirkan hanya itu, seperti gadis-gadis dari kampung udik, bahwa seolah pernikahan berarti menempati rumah baru dan bebas atau setidaknya terlepas dari pengawasan orang tua. saya kira, saya telah dengan sengaja membiarkan racun yang saya produksi sendiri dalam tubuh saya membunuh saya sendiri berlahan tapi pasti, seolah dunia saya hanya dibatasi oleh empang batas kampung, padahal saya sudah melewati dan jauh lagi melewatinya.

banyak yang bisa kita perbuat sementara menunggu 'kereta berikutnya', Tuhan telah membiarkan saya untuk (sedang) mencicipi pendidikan jenjang s2, Tuhan juga mengeluarkan saya dari penjara doktrim dan paradigma kaku untuk lepas bebas di dunia makna dengan kehidupan yang lebih luas, Tuhan meminta saya berbuat sesuatu sejauh tangan saya bisa menjangkau, akal saya bisa memikirkan dan kata-kata saya bisa didengarkan, jadi pernikahan adalah satu cabang kecil saja dari arus utama yang sedang saya jalani, hidup ini hari ini.

saya memang semakin banyak kehilangan kesempatan dan momentum, dan semakin saya besar, semakin menyadarinya, saya sangat ingin semua itu tidak terjadi lagi atau tidak terlewat banyak, lalu dengan kesempatan-kesempatan itu, betapa senangnya menjalani menjadi 'kami' atau 'kita' dengan cara lain, ketika cara yang 'umumnya' atau 'seharusnya' itu memang belum berkenan untuk saya.

pada banyak teman yang memiliki banyak masalah dan membutuhkan setidaknya kehadiran saya, pada pemikiran-pemikiran yang membutuhkan pengertian yang lebih membumi, pada kasih sayang antar keluarga dan teman, pada harapan yang kami, dan kita bangun bersama akan Indonesia, Islam, dan Bumi, adalah tak adil bila semuanya hanya ditutupi dan dipotong oleh apa yang orang-orang sebut sebagai 'umumnya'.

22 11 adalah angka yang terbaik bagi saya, pada waktunya, semua yang terlihat tidak bermakna ini akan menjadi sesuatu yang paling berharga. antara suatu keyakinan dan harapan saya berdoa, semoga kebimbangan dan kegalauan ini segera berlalu di tahun kedepan, saya memang sedikit lelah dengan paradikma dan (re) konstruksi, dan saya kini sedikit haus dengan (re) konsiliasi, tapi saya selalu hadir untuk semua itu, untuk semua yang membutuhkannya, terutama membangun jembatan atara fikiran angan-angan saya dan kenyataan dalam diri saya yang terbatas ini, dan pada semua yang mengajak saya untuk terus berfikir, dan menjadi semakin matang.

vini vidi vici



Labels: catatan harian
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Footer