Kemarin sebelum purnama sidi kamu katakan bahwa cinta mu sebulat rembulan yang kita intip bersama, kini kamu bilang cinta itu semacam angin yang keluar dari pantat dan menghilang setelah bau yang menyengat, bagi mu cinta "cuma kentut", bodohnya aku masih percaya dengan yang ucapan yang pertama dan mengira ucapan terakhirmu cuma canda.
Kemarin kamu bilang rindu mu pada ku semerbak bunga setaman, bunga sesembahan dan bau dupa di makam para pencinta yang bersemayam di dalam undukan, dan doa-doa peziarah, dan mantra-mantra yang mereka ulang-ulang, permohonan ampunan atau permintaan yang mereka panjatkan adalah seperti cara kamu merindukan ku, sekarang kamu bilang rindu itu seperti "igauan tidur, cuma lolongan anjing kala bumi hening", apa arti igauan dan lolongan itu? kamu jawab "sia sia saja".
Mengapa kamu kira aku masih bercanda dengan mu, waktu aku mencium keningmu mesra dan menghangatkan tubuhmu yang rekah itu dari dingin angin malam, kamu kira aku main-main dengan mu, waktu aku membungkus tubuhmu dengan selimut tebal dan membuatkan mu bubur ayam karena kamu terbaring tak berdaya. Kamu kira aku cuma bercanda dengan mu, waktu kamu pergi tanpa pamit lalu aku mencari mu ke mana-mana, menemukanmu di ujung batas kota dengan sendal tidur yang sudah koyak serta piyama yang dekil serta kotor, aku antar kamu pulang, aku bilang, "ku hilang tanpa mu", kamu membisik "kau menemukan ku sekarang, lalu apa?", kamu lemas seperti lelehan lilin yang baru cair dan aku memberimu rasa sehingga tubuhmu pulih cepat seiring waktu. Mengapa bagi mu aku tak lebih badut dari riuh pasar malam keliling di kota-kota sunyi
*
"kita tak pernah berjodoh"
Ucapan mu dari mulut yang tanpa tulang itu, Oh Tuhan! "Paaahhhh!!", kamu tahu bila laki-laki seperti ku mudah tersentak seperti saat kucing ketahuan nggarong, dada ku serasa dipukul Tyson si leher beton, pada ronde terakhir yang sudah lelah oleh pertengkaran panjang, walau..., mungkin aku menyadari pada saatnya kamu akan mengatakannya dan walau..., aku tetap tak mau tahu, dan tak ingin mengerti (mungkin itu kebodohanku), karena pelukan kita, ucapan mesra kita, setumpuk kenangan, foto-foto yang di tempel di dinding, selama bertahun-tahun, semuanya lalu kandas begitu saja, semacam diterjang tsunami, atau gempa besar yang menelan kota-kota. Aku hanya berharap yang kamu ucapkan itu hanya bualan dan canda-canda kita seperti sesering kita di taman kota menjelang senja, tapi....
"aku serius, aku sadar dengan yang ku ucapkan"
"mengapa, aku terlalu jelek untuk mu, terlalu miskin kah, terlalu bodoh kah, terlalu kejam kah.."
kamu diam lama, membalikkan muka
"mengapa, apa salah ku?"
"mengapa, apa yang kamu mau dari ku yang tidak ada? apa?"
kamu diam lama, masih membalikkan muka
"empat tahun lima bulan, kita menangis lalu tertawa bersama, sakit lalu sehat bersama, terluka lalu sembuh bersama, jatuh lalu bangun bersama, apa lagi yang kamu cari dari ku dan itu tak ada sampai saat ini...................."
"aku, aku sungguh-sungguh terluka dengan ucapan mu.." kata ku,
dan kamu cuma diam, kamu tak berkata apa-apa, seperti kupu-kupu yang cuma lewat berkelebat di depan muka ku, lalu pergi menghilang entah mau ke mana.
Karena itu aku lari mengejar mu, terhuyung-huyung tak karuan kamu menjauh dari ku seperti anak kecil baru bertemu hantu, untungnya selalu saja kau beruntung memilih jalan, menuruni jalan setapak, dan menjumpai jalan besar, bersatu dalam lalu lalang karnaval rakyat, aku kehilangan mu, kehilangan hati mu dan kehilangan seluruh jiwaku, sementara kembang api menydahi semua pesta, aku hanya mau mati waktu itu, suatu malam di bawah mendung.
Salahnya sendiri aku terlalu menaruh hati pada mu, salahnya sendiri ku kira cinta itu terlalu mudah diterima seperti seonggok medali yang tak kan terkikis waktu, salahku menganggap mu setengah dari jiwa ku atau keseluruhan dari diriku, kini aku sulit memahami apa artinya satu jiwa dalam dua raga, atau apa artinya satu jiwa dalam banyak wujud, aku tak memahami semua kata-kata dari tv, novel-novel dan cerita puisi, atau buku-buku tentang kehidupan, apa artinya satu orang mewakili banyak orang, atau satu pemimpin mewakili satu keluarga, satu masyarakat, satu agama, satu kota, satu negara? bukankah dua jiwa saja yang ingin berpadu sesulit menemukan perjumpaan langit dan bumi bahkan tidak akan pernah berjumpa walau melarung ke ujung cakrawala, hanya sebatas tampak dimana. Bagaimana satu jiwa bisa berarti semua jiwa? apa yang telah dikatakan para nabi yang datang silih berganti, aku tak mengerti, bagiku pengertian semacam itu ikut pergi bersama kekasihku. Waktu tidak bisa kembali, demikian juga iman yang aku hempaskan!
Cinta itu aneh, aku tahu ia selalu menyapaku, lalu aku menangkapnya, membungkusnya dan membuangnya jauh-jauh, cinta itu aneh, ia menuntutku untuk setia, sementara aku tak punya apa-apa untuk membuatnya tetap bersamaku, cinta itu aneh, aku tahu aku tak kan kehilangan banyak hal setelahnya, namun pada waktunya aku membutuhkannya melebihi langit dan bumi. Tapi apalah yang bisa dilakukan laki-laki selain mencari, lalu antara diterima dan ditolak mentah, lalu antara menuntut pemahaman dan kelelahan untuk dimengerti. Cinta ibu dan ayah mungkin tidak lagi bisa turun begitu saja dalam sanubariku yang gelisah, aku anggap saja kedua orang tuaku hanya bayang-bayang dari kehidupan yang penuh pertentangan lalu satu diantara keduanya memilih untuk mengalah, membuang perbedaan itu jauh-jauh, atau menyimpannya dalam guci tua yang tak tersentuh entah di mana.
Mungkin pikiranku terlalu sempit tentang itu, tapi aku telah mencoba memahami maknanya, bagaimana bisa, satu jiwa dalam dua tubuh, bagaimana anak-anak bisa besar dari dua orang tua yang saling memendam perbedaan, apa artinya pengertian bagi ku, sementara dulu, kekasih ku pergi tanpa memberi alasan atas apa yang ia pilihkan dan tinjukan pada piluku. Lalu untuk apa aku mencintai? untuk mencari ketidak tahuanku?
Aku harap waktu mampu menyembuhkan luka, sayangnya luka sekuat permata, pedih itu tak kan pergi ke manapun.
*
"kamu mengada-ada, kamu membesar-besarkan"
"tidak"
"cinta bisa datang dan pergi, menghilang dan kembali"
"tidak"
"cinta dibura, dicari, ditangkap, dinikmati, dibuang dan dicari lagi"
"tidak"
"cinta bisa dibeli"
"tidak"
"cinta bisa dibagi"
"tidak"
"cinta itu kesetiaan"
"tidak juga"
"aku tidak menemukan makna cinta dari mu wahai anak muda"
"karena aku memang tidak tahu"
"oh anak muda, bukan berarti kamu harus bersedih dan dendam penuh bara kalau kamu tak tahu apa itu cinta"
"apa aku pendendam" kata ku
"cinta bukan dendam"
"lalu apa aku terlihat bersedih"
"cinta bukan tentang kesedihan"
aku berfikir sejenak, apa yang dikatakan orang tua renta ini. Lalu aku pergi darinya, aku tidak tahu maksudnya.
*
Ketika angin mendesir, aku tahu Engkau telah berbisik berlahan padaku, petir-petir itu seperti tangisan pilu dari 'wajah'-Mu yang lain, daun daun yang beterbangan disapu angin adalah cara Mu menyapa dunia ku yang sempit ini, dan aku menyadari lukaku seperti tubuh yang terjatuh dari pelana kuda seusai perang besar yang tak tahu menang dan kalah, aku menyimpan dendam seperti api abadi yang tidak pernah padam, aku memang tak paham cara-Mu muncul dalam banyak jiwa berbeda, atau mengendap dalam bermacam rasa serta warna, hingga ku sadari yang muncul dalam kebencian dan luka ku ini, adalah cinta yang terhalang oleh memori masa laluku yang tidak segera ku buang. Pada dasarnya aku tak sanggup membuang cinta-Mu itu seperti pengertian yang aku yakini selama ini. Aku memang rapuh.
Walau mungkin aku dianggap lemah dan berlebihan sebagai laki-laki yang mengaku tangguh. Cinta telah menjelma dalam suatu malam di bawah mendung.