Kita Pernah Alpa, demikian dunia dan zaman ini kita lupakan atau kita melupakannya, ucapan yang bahkan kita ulang-ulang seperti tertelan kubangan kolam besar (lihatlah berita-berita populis televisi 'sampah' kita yang cuma angin lalu -hangat hangat tahi ayam-), dan kita tak berdaya untuk mempertahankan ingatan kita. Karena lupa bukanlah kesalahan, bukanlah dosa, tak kan pernah bisa di hukum, demikian para koruptor, pemimpin arogan, akan memanfaatkan kelupaan untuk membebaskan dirinya dari dosa.
Mereka yang memilih lupa adalah mereka yang takut atau mengabaikan segala ingatan masa lalu, tentang ucapan, tentang janji, tentang tindakan yang ceroboh, perjalanan hidup yang pongah, atau kah sepenggal kisah yang bodoh. Beberapa orang melupakan keteledorannya, dan mengabaikan masalah itu dikemudian hari yang mungkin muncul kembali dan menghantui, lainnya melupakan 'rayuan-rayuan' gombal yang diucapkan pada kekasihnya, lalu semua ucapan berlalu ketika ada yang baru, yang lebih muda, yang leboh bahenol, bodi singset atau yang six pack, demikian ketika keluarga buruh menjadi majikan, orang ditindas diangkat untuk menang lalu -sama saja pada akhirnya- menjadi penindas, mereka yang dibantu lalu melupakan jasa orang-orang yang telah membuatnya menjadi sukses. Kehidupan telah melupakan kematian, dan manusia melupakan Tuhan, manusia melupakan Ibu Pertiwi, seperti ketika kita lupa dari mana kita berasal dan ke mana kita bakal disemayamkan. Dari mana kita makan: petani yang sempoyongan mencangkul sawah, tertipu oleh janji: penjual bibit unggul, penjual pupuk, penjual obat hama, lalu terbelit utang ke 'bang titil'. Anak-anak yang lupa bahwa bapak ibu nya adalah petani jelata, lalu menjauhi lumpur-lumpur sawah yang kotor, bekerja di kota, atau ke luar negeri, pulang dengan setumpuk gaya baru, lalu hamparan padi dijual lagi untuk pergi lagi ke luar negeri, asal tidak menjadi buruh, asal tidak kotor oleh lumpur, asal tidak terbelit utang tengkulak, karena: menjadi petani itu kuno, terbelakang dan kelas rendahan.
Orang kaya (manusia ras) baru, ada banyak orang kaya baru, yang dulunya adalah orang kampung nan udik, semua orang Jakarta adalah orang kampung dan kampungan, kecuali orang-orang Betawi, Presiden Soekarno dari kampung Blitar, Presiden Soeharto dari kampung Sleman, Presiden Habibi dari kampung Pare Pare, Presiden Gus Dur dari kampung Jombang, Presiden Megawati dari Jakarta, leluhurnya dari kampung Blitar dan Tampaksiring, Presiden SBY dari Pacitan, semua orang kampung berbondong-bondong mengerubungi Jakarta, mereka ingin menjadi 'artis' Ibu Kota, Gue Loe Ennn! Desa hanya di sisakan ruang: bagi orang tua kita yang sudah mulai sepuh, mereka pantas mendapatkan ketenangan di sana (sebuah dunia fantasi), pohon-pohon hijau, gunung-gunung tinggi, kicauan burung, hamparan padi kemuning menjelang panen di sawah, adalah secuil surga yang diciptakan untuk leluhur kita, hanya untuk para pensiunan : yang tidak kuat lagi naik tangga gedung tinggi, minum wine atau cheese, joget-joget rave-trance,begadang hangout hingga pagi. Dan orang-orang kota yang telah merasa mampu berdiri sendiri di atas kaki sendiri, membiarkan petani menjual tanahnya dan menendang mereka menjadi buruh penggarap. Kotalah yang telah menaikkan harga dasar: pupuk, pembasmi hama, bibit 'unggul', lalu membiarkan harga panenan padi tetap murah, agar negara aman -tidak terjadi huru hara-, agar sang presiden dari kampung tetap melenggang. Semua hati nurani kita diperas, agar kita tetap nyaman di kota, taman-taman dan gedung-gedung yang kita ciptakan dengan 'kecanggihan'. Tetap nyaman dengan segudang mimpi kita, tetap nyaman dengan 'melupakan' kepedihan.
Mengapa banyak orang ingin tinggal di kota: dekade ke dua abad 21, separuh lebih orang Indonesia akan tiggal di kota. Ini semacam mitos tentang sebuah hierarki: hunting-foraging-gathering membaik menjadi cultivation-agriculture lalu membaik menjadi industri, kemudian post industri (informasi) dan seterusnya post informasi. Sama seperti sebuah evolusionis: dari makhluk ber sel satu hingga makhluk komplek, dari kera menjadi manusia. Sama saja: dari animis-diamis, politeis, monoteis, humanis, neo humanis (alias agnostik-atheis). Dari: suku ke kerajaan, ke bangsa oligarki, ke bangsa aristokrasi, ke bangsa demokrasi. Manusia selalu menciptakan Ordinat dan Subordinat, Mainstream arus utama dan 'liyan': buruh tani-petani kecil, buruh pabrik, dan usaha-usaha mikro, pengemis, gelandangan, tuna wisma, kelompok berkebutuhan khusus, banci, pengemis, waria, homo-lesbi-biseks, wanita, anak-anak, orang gila, negara miskin-berkembang, semua yang 'tidak penting', adalah peran pendukung saja, dan sejarah seolah ditentukan oleh mereka yang 'besar', 'agung', 'suci', 'berkuasa', 'terhormat', 'bermoral' dan yang 'paling-paling' lainnya. Dan mereka yang ada di periferal hanya akan berebut remah-remah sisa pertarungan raksasa raksasa. Darimanakah Presiden kita memakan nasinya? bagaimana cara Ibrahim yang resah menemukan Tuhan? siapa yang menjaga logika berfikir Francis Bacon kecil? siapa yang telah membiarkan para pemberontak merobohkan penjara Bastille?
Untungnya Tuhan selalu memelihara hati orang-oranng yang menderita lalu memohonkan perlindungan.
Kita banyak sekali melupakan, cerita-cerita televisi dan XXI/21 dianggap kenyataan, seolah-olah 'seandainya' bisa terjadi. Padahal ada banyak sekali kenyataan yang tidak sekedar pahit tapi menyedihkan yang sengaja kita hindari, sengaja tidak kita tengok -hallooww bukan hiburan boo'-: 'oh hidup saya sudah begitu sulitnya, begitu menyedihkannya'. Kita diam, karena 'merasa' tidak mampu mengubah apapun, 'lebih baik tidak berbuat dari pada ikut campur,nanti malah berabe lagi booo, ambil aman ach!' atau kita memang sesungguhnya terlibat dalam konspirasi besar, untuk tetap mengekang tali erat di leher mereka yang 'sudah sepantasnya bernasib sial'. Tuhan ada di mana-mana, pada jiwa manusia yang memiliki hati, mereka yang menyediakan telinga, mata, ucapan, tulisan, perbuatan untuk menyuarakan kenyataan yang pedih: Keluarga Muhammad (atau para nabi, para Santo, orang suci atau Awetara, para pembaharu) adalah mereka yang fakir dan miskin, 'keluarga Muhammad' adalah mereka yang disingkirkan dari kampung-kampungnya hanya karena memperjuangkan penghidupan yang layak atau kebenaran yang ia temukan, keluarga Muhammad adalah para budak budak zaman yang nyaris tidak memiliki pilihan untuk memilih yang benar-benar mereka inginkan.
Kenyataan tentang banyaknya penderitaan tidak bisa begitu saja ditutupi, dan penderitaan juga bukan untuk dijual, bukan untuk menjadi dasar bagi seseorang atau suatu kelompok untuk mengemis dan memelas, atau orang-orang yang kaya merasa 'berbaik hati' mau membantu dengan pongah (disuarakan dan digembor-gemborkan), bukan pula untuk mengajukan proposal dana entah atas dasar pengentaskan kemiskinan atau penelitian, penderitaan adalah pemacu manusia untuk berjuang meraih kedaulatan, memacu mereka yang lebih beruntung untuk mengulurkan 'tenggang rasa' dengan berlatih untuk tulus dan ikhlas melepas sebagian hartanya yang memang hak milik yang fakir dan miskin. TIDAK UNTUK DILUPAKAN atau MELUPAKAN.