+catatan pribadi belaka+
Pagi buta, saya sudah dibangunin sahabat, ngetuk pintu gak nanggung-nanggung, sementara saya masih asyikmasyuk bertelanjang dengan selimut dan guling (hal yang saya lakukan selama puluhan tahun).
"Ayolah bangun..."
"Temanilah saya.."
"Pacar saya datang lho.."
"Ayolah.."
Apa sahabat saya tidak tahu, mata saya masih kriyip-kriyip, blele'en, saya dengan malas bilang
"malas bung... besok-besok sajha"
"Wah, kamu yak ingat ya.. kemarin-kemarin waktu di Jakarta, siapa yang ngemong kekasih mu...."
"gak tau bung.... hehe"
"Kita-kita....."
*
Ya, begitulah, saya berjalan malas, menunggu di stasiun Tugu Yogyakarta, menunggu Pramek. Untungnya tepat waktu, berebut naik, kami berlima, si Bung dengan ceweknya, dua ekor pengikut dan saya sebagai pelengkap. 'Sial', penuh nya kereta ini, sumpek, dan tentu saja, panas, sepanjang perjalanan semacam narapidana dipindahkan ke sel tahanan baru, kaca-kaca tertutup, bayi-bayi menangis. Mulanya satu bayi menangis keras, dan pada stasiun berikutnya ayah dan bundanya mengajaknya turun, kereta meluncur lagi, tak lama beberapa bayi menangis lagi. Saya bisa merasakan bahwa oksigen sangat menipis, saya jadi ingat pembantaian Belanda, sebuah kisah di masa lampau dimana para pejuang dimasukkan ke gerbong dan dibiarkan mati pelan-pelan. Entah karena pikiran yang macam-macam nafas saya kembali tersengal, setiap stasiun bertambah penumpang baru (petugas sama sekali tak peduli kalau penumpang benar-benar sudah berjubel), sepuluh masuk dua keluar, saya merasa benar-benar harus memburu oksigen 'dimanakah..?!'
*
Mungkin otak saya terlalu politis, sehingga apa-apa yang dipikirkan kembali pada rengekan 'pemerintahan yang tidak pecus', mengingatkan bahwa beberapa waktu yang lalu mentri BUMN Dahlan Iskhan menggerutu gara-gara tol yang walaupun jalas bebas hambatan tetap juga macet (mengapa mentri selalu berfikir dengan urusannya sendiri? dengan TOL nya sendiri?), sekarang 'amdaikan pak Dahlan berada di samping saya, bukan hanya sakit hatinya yang bakal kambuh, mungkin dia bakal pingsan atau merengek seperti bayi-bayi tadi. Dahulu kala, saya selalu berharap pemimpin negeri ini akan berubah, dulu sejak Gus Dur jadi presiden saat saya SMA, saya berharap akan ada perubahan ketika saya memberanikan memilih kelas IPA, mungkin guru-guru nambah cerdas memahami murid-muridnya, tidak membiarkan 'pengkelasan' di kelas (yang sebelumnya selalu saya rasakan), atau lebih menghargai proses dari pada nilai, tapi sama saja, saya kecewa, saya keluar, milih pindah ke kelas IPS pada akhir satu semester berjalan (pilihan yang sangat beresiko). Kelas IPS-4, yang kumpulan para 'kriminal': yang guru-gurunya ngajar sambil tidur, yang murid-muridnya bisa pesan bakso di kantin dari jendela kelas ketika pelajaran sedang dimulai, karena gurunya memang benar-benar tidur, atau guru yang lebih banyak bicara jualan produk MLM, sabun colek ajaib, sabun mandi wangi sepanjang minggu, ya sudahlah, dan lengkap sudah dengan teman-teman sekelas yang suka bolos, yang salah satu kawan kelas wanita kami pernah dilabrak ibu paruh baya di kantor TU karena merebut suami orang, yang beberapa kawan sekelas bawa mobil ke mana-mana, bilang suka dugem kek atau pacaran sana sini. IPS-4 saya sama dengan PRAMEK, negara mengabaikan, negara membiarkan, dan kami harus berjuang sendiri. Mau kesedak mati tanpa oksigen atau jadi preman yang hidup di jalanan, negara tidak peduli.
*
Tidak peduli, termasuk saya, sering tidak peduli, dan ketidak pedulian mengakibatkan saya atau banyak orang kehilangan kesempatan yang dianugrahkan oleh ruang dan waktu. Kekasih, Pendidikan, Fasilitas, Sahabat Baik, semua lewat begitu saja seperti pemandangan yang terlihat dari jendela kereta PRAMEK, sawah menghijau, sungai-sungai bening mengalir, rumah-rumah pedesaan, nyiur melambai, semua terlewatkan karena merasa bahwa bernafas saja sulit, apa lagi untuk menikmati perjalanan, menikmati hidup ini. Barangkali karena saya terlalu "Mr complain" dengan hidup ini. Membandingkan apa yang saya anggap sempurna yang belum tentu bisa diterima sempurna oleh orang lain. Saya sibuk dengan ketiadaan hak yang seharusnya saya miliki, tanpa terpekur pada kewajiban yang harus saya pikul.
.....
Saya bingung meneruskan postingan kali ini, hari ini adalah hari yang genting bagi saya, sauh sekoci saya telah dinaikkan, dan saya kembali akan berlayar tanpa sosok navigator, inilah saya yang kembali hilang disapu awan kehidupan. Maafkan dunia, maafkan atas kelahiran saya.
Astaghfirullah.