*
![]() |
http://giraffesays.blogspot.com/2011/01/lembah-baliem-papua.html |
Lembah Baliem! Tunggu saya di sana! Ya, Saya selalu bermimpi menziarahi "sekeping surga" itu, dimana "Permainan-Permainan Besar" Tuhan meliuk menjadi kesunyian dan kehampaan, tempat di mana waktu kemaren, kini, dan esok bersahutan dan bermuara di sebuah lembah tanpa bahasa.
Tentu saja itu semua cuma daya khayal saya yang kelewatan. Semua orang di luar sana resah, sehingga Baliem membutuhkan pendidikan yang layak, kesehatan yang mapan, dan layak dikenalkan bahwa mereka juga punya presiden, mereka punya negara, yang ibu kotanya beratus-ratus mil jaraknya. Begitulah kepingan itu dilukis kembali, terakota sahaja menjadi warna-warni pop. Lalu di sana "lihatlah-lihatlah sayang! mereka sudah berperadaban, mereka sudah mengenal Tuhan!" demikian teriak orang-orang beratus-ratus mil jaraknya.
Suatu waktu ketika saya di Kalimantan, orang-orang birokrat yang mengunjungi pegunungan berkoar bahwa "masyarakat ini tidak punya agama". Dan tentu saja orang-orang "ini" dengan rendah hati balik bertanya apa artinya agama bagi para birokrat? mengunjungi Makah? Jerusaleyim? Kavilawastu? Sungai Gangga? mereka, kaum birokrat, bukan hanya mempermasalahkan agama ketika sedang berdiri di pinggiran jaman, lebih dari itu "keterbelakangan atau keliaran" sering di acungkan di muka orang-orang yang berdiri pada tepian sejarah.
Saya adalah orang yang tidak pernah mau percaya pada relativisme nilai, atau pada absurd nya mekanisme kemajuan, tapi saya sangat menghormati perbedaan, pemahaman dan cara orang-orang atau masing-masing kelompok memahami dunia ini. Sebagian dari kita "di sini" tahu, bahwa "peradaban" selalu diarahkan di satu tujuan oleh orang-orang yang merasa menemukan"nya" terlebih dahulu. Kelompok ekonom, politisi, agamawan, filusuf, akademisi, dan birokrat, sadar atau tidak sadar bahu membahu untuk mengarahkan layar terkembang mereka agar mencapai jalur perjalanan yang mereka sepakati (saya secara tak sadar masuk di dalamnya), dan semua tanpa terkecuali harus mengikuti jejak-jejak itu tanpa 'bertanya' mau ke mana ?
Namun mencoba keluar dari kotak universalitas nilai (yang mutlak), atau berusaha masuk dalam relativisme nilai sama-sama sulit bagi siapapun yang memiliki latar belakang di balik hidupnya. Keluarga, kota, negara, globalisasi selalu membuat aturan-aturannya sendiri sehingga peradaban dalam pribadi kita ditaklukkan sebagian atau seluruhnya; dikendalikan oleh kelompok-kelompok mainstream tertentu. Akhirnya saya perlu ragu, lalu tak tahu 'kelak' untuk siapa dan untuk apa saya harus berkunjung di kepingan sejarah seperti lembah Baliem?
Pendidikan dan pelayanan kita sebagai masyarakat ilmiah selalu direduksi (di turunkan) dalam pemahaman sejarah linier, biarpun sebagian dari kelompok alternativ kita bilang sejarah besar ini bisa kita lawan, namun perlawanan atau pembangkangan adalah bentuk dari konsekuensi sejarah, bukankah tidak menciptakan persimpangan sejarah?. Dalam alam bawah sadar saya selalu saja ada yang berteriak "untuk apa di tempat itu? membiarkan mereka menapaki nasib mereka sementara engkau hanya berkunjung sebagai peziarah! buatlah perubahan dan ajaklah mereka pada jalan yang sama seperti yang engkau pilih", dilain pihak ada suara yang jauh lebih lirih menanyakan pada saya "bukankah tak ada gunanya di sana, keberadaan hanya akan mengguncang garis sejarah mereka, bukankah lebih baik biarkan mereka menentukan nasib sendiri?". Akhirnya barang kali untuk lebih tepatnya saya hanya ingin mencoba berziarah, menemukan sesuatu yang terlupakan dari latar belakang kehidupan saya, dan siapa tahu bisa menjumpainya di sana? di pinggiran sejarah.
Baliem hanyalah sebuah lembah, tidak ada jalan setapak untuk pergi ke sana atau kembali kecuali dengan pasrah. Saya selalu berharap akan benar-benar di sama untuk waktu yang lama, dua atau lima tahun, melihat dunia dalam pandangan lain, yang mungkin bisa dihidangkan untuk kelompok sejarah besar, mereka yang barang kali nyaris melupakannya. Jika saya percaya bahwa jalan sejarah tidah hanya linier namun spiral, maka siapapun yang sekarang sedang duduk di kursi empuk, atau yang sedang menghitung gerak super dinamis bursa-bursa, bisa menikmati istirahatnya yang sebentar, untuk sejenak kembali menengok ke belakang, dan menziarahi masa-masa lalunya yang mungkin terlupakan. Bukan sebagai orang asing yang berkunjung hanya untuk "melepas lelah" di Bali, Katmandu, atau Makah. Namun menoleh ke belakang dan menemukan dirinya sendiri, walau hanya sebatas penonton di luar garis lapangan.
i
Aku gak perlu uang ribuan
Yang aku mau uang merah cepe'an
Aku gak butuh kedudukan
Yang penting masih ada lahan 'tuk makan
Asal ada babi untuk di panggang
Asal banyak ubi untuk ku makan
Aku cukup senang... aku cukup senang
Dan akupun tenang
Aku gak ngerti ada banyak tambang
Yang aku tahu banyak hutan yang hilang
Aku gak perduli banyak nada sumbang
Kita orang ini dianggap terbelakang
Asal ada babi untuk di panggang
Asal banyak ubi untuk ku makan
Aku cukup senang... aku cukup senang
Dan akupun tenang
Hei... yamko rambe yamko...aronawa... ombe
Hei... yamko rambe yamko...aronawa... ombe
Hei ngino kibe kumbano kumbu beko
Yumano kumbu awe ade
http://giraffesays.blogspot.com/2011/01/lembah-baliem-papua.html |
*