HTML tutorial
varihsovy.com
  • About
  • Get inspired
    • Traveling
    • Culinary
    • Fun
    • Film
  • Mine !
    • Family
    • Opinion
    • Books
    • The Spirit
  • Contact Us
    Instagram Twitter Google+ Facebook Linkedin
    close

Melihat Tanpa Batas (Membaca Fikiran tuhan 02)


Saya senang sahabat dekat saya akhirnya wisuda minggu ini, dan kemudian mengucapkan sampai jumpa pada Jogja! Saya sendiri masih terjebak di sini dengan ide-ide yang masih kabur, membuat rumah 'surgawi' dalam tumpukan sampah remah-remah (semoga saja bulan ini semua urusan saya selesai di Jogja, amean)

Ibot, teman  kos saya pernah bilang: 'ngapa dibikin sulit: kecil bermain, muda bercinta, dewasa menikah, bapak punya anak, tua ikut pengajian, lalu mati masuk surga'. Ibot memiliki buku berat, skripsinya tentang sejarah setebal 500 halaman, penguji ujian skripsi memintanya mengurangi menjadi 200  halaman 'saja', dan anehnya walaupun demikian kesimpulannya tentang ambisi hidupnya begitu mengejutkan: 'mati masuk surga', sesederhana itukah?

Tapi saya kali ini mencoba untuk tidak lagi menjadi ideal dan menyelami kesederhanaan, jika ideal adalah 'Tuhan dalam cetak biru' maka ada apa dengan teman saya yang bersujud di rumah Tuhan tiap hari tapi kondisinya tetap saja mengenaskan hingga saat ini, tapi teman yang lain yang sama sekali tidak menunjukkan ketaatan, justru tidak pernah nganggur, dapat beasiswa ke luar dan pulang menjadi CEO multinasional. Akhirnya perenungan saya tentang ideal, atau idealis adalah seperti kebiasaan manusia menyederhanakan kasus, memotong vareabel atau pengaruh lain (yang sering tidak nampak) serta cuma memelototi pada satu kenampakan saja, ini mengakibatkan teori pada fakta di lapangan tidak lagi nampak berfungsi, menjadi sia-sia. (karena barang kali yang bersujud tadi tidak berusaha untuk bekerja sungguh-sungguh, dan yang kurang taat tadi banyak berdarma atau membuat banyak lapangan kerja: bisa jadi demikian: Tuhan selalu punya pertimbangan lain untuk mendekati setiap makhluknya).

Kembali ke kisah Ibot, suatu pagi ia menjadi pecundang -karena hanya melihat dunianya melalui jendela buku bukunya-, ia teriak disamping saya ketika saya mandi, "coli-coli-coli! (onani)". Sangat mungkin bahwa ia merasa diabaikan oleh ide-ide di bukunya, dunia nyata yang tidak membaca bukunya ! (atau bukunya tidak membaca dunia yang terus bergerak ?), Ibot berfikir dunia lebih melihat kondisi fisiknya yang tidak nampak seperti lelaki dalam imajinasi televisi, dia tidak tinggi, besar, gagah, tapi dia pendek keriting dan kerempeng, ia bilang solusinya cuma satu "coli!" demi mendapatkan imajinasi  wanitanya seperti di televisi: Ayu Azhari dan Penélope Cruz (kebetulan ia suka wanita keibuan: dan dia dimabukkan pula oleh citra televisi-film). 

Kehidupan nyata memang jauh lebih rumit, tidak seperti sebagian besar film hollywood yang tentu saja diciptakan oleh manusia, dimana vareabel, skenario, case-case, plot semua dibangun hanya dengan beberapa tumpuan, karena jelaslah paling mentok hanya ada dua otak alias 2 sutradara dalam sebuah film. Sementara dunia nyata melompat, mengalir, meruntuhkan, menciptakan jutaan kelahiran, 7 milyar manusia yang berfikir, galaksi-galaksi yang berputar, atau semut-semut kecil yang bergerak rapi, amoeba yang berlipat ganda dalam satu detik. Kalau ruangan kita cuma dikekang melalui film, lagu, sinetron, bahkan hanya oleh beberapa koran harian, berita dari televisi, buku filsafat-ideologi setebal apapun serta kitab suci dalam bentuk pemahaman 'mentah', partai-partai politik kiri/kanan/tengah, bahkan oleh inklusifitas agama yang kita yakini saja, tentu saja hidup kita seolah menjadi tidak ditempat yang tepat. Sebagaian berdampak : ingin bertemu Superman, sama seperti berharap bertemu Juru Selamat karena dunia tidak sesuai yang kita harapkan, semakin hancur, goro-goro, sama seperti berharap dan terus menunggu untuk kaya mendadak karena dicintai pangeran-putri kaya, merasa tiba-tiba karir lancar menjadi CEO, atau mendapatkan percintaan yang hebat seperti film-film porno yang seolah bisa saling memuaskan dan terutama dengan orgasme dan foreplay yang lama (btw.. dimanakah tubuh-tubuh yang indah dan hots itu dapat ditemukan??), atau imajinasi tentang jaman yang adil, jujur seperti jaman Kerajaan Allah, ataukah jaman Khalifah, atau Jaman Majapahit, atau jaman Soeharto. Juga menganggap tanah airnya sama sekali tidak memuaskan alam idenya sehingga kecanduan pergi ke dunia yang jauh di sana, menjadi the Other atau peziarah adalah salah satu gejalanya juga, dimana Tubuh dan Fikiran seolah salah bertempat, sementara mengabaikan jutaan vareabel yang menentukan jalan sejarah yang dipilih sebuah bangsa hingga menjadi saat ini dan detik ini (Cintailah Indonesia!). 

"Hanya saja ketika setiap kali saya bangun pagi, libido saya ikut terbangun, saya tidak bisa berbuat apa-apa saat menyadari tak ada kekasih istimewa yang ada dalam dekapan saya saat itu, dari situ dunia nyata bermain-main! mengancam dan membutuhkan pengakuan! tidak semua orang berani menerima kenyataan !".

Saya senang karena akhirnya Ical keluar dari Jogja, mendapatkan pekerjaan dengan gaji A, dan hidup bersama mimpi yang bisa terus ia kejar di alam nyata. Kehidupan akan terus berjalan, baik atau buruk, diharapkan atau tidak diharapkan, sukses atau payah, dan demikian Tuhan atau apalah namanya, menggerakkan semua dalam rentang ruang yang maha luas, pikiran-pikiran dan harapan yang tak henti-henti, ide-ide dan cara pandang yang terus saling berhubungan, dari pergeseran-pergeseran maha besar, keras dan cepat hingga debu-debu yang melayang pelan.

"Katakanlah : Kalau Sekiranya Lautan Menjadi Tinta Untuk -Menuliskan- vareabel vareabel Tuhanku, Sungguh Habislah Lautan Itu Sebelum Habis -Dituliskan- Kalimat-Kalimat Tuhanku, Meskipun Kami Datangkan Tambahan Sebanyak Itu -Pula-." (Orang Gua :18)

Tidak ada satupun manusia di alam ini yang berhenti di satu titik dengan cuma mendongak ke atas atau hanya menunduk memelototi telapak kakinya.



Labels: catata, cerita, coretan, Kemanusiaan, Kenyataan, Sosial Budaya, Spiritualitas
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Footer